Peristiwa Bersejarah 24 Januari


Beranda Opini.

Jakarta– Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki tiga orang Jenderal Besar, sebuah pangkat tertinggi yang ditandai dengan lima bintang emas. Ketiga Jenderal Besar itu adalah Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto. Di antara tiga orang tersebut, Jenderal Besar Sudirman termasuk yang paling senior, dan sudah masuk ke militer sejak masa pendudukan Jepang. Jenderal Sudirman juga terlibat aktif dalam revolusi mempertahankan kemerdekaan, sebagai pimpinan tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Memulai Karir Sebagai Guru

Jenderal Sudirman atau Raden Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Ayah Sudirman bernama Karsid Kartawiuraji, sementara ibunya bernama Siyem. Namun semasa kecil Sudirman lebih sering tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo. Cokrosunaryo adalah seorang camat di Rembang, Purbalingga. Dia mengadopsi Sudirman sebagai anak karena tak kunjung punya momongan. Tinggal dan diasuh seorang camat membuat Sudirman kecil berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak. Pada usia 7 tahun, Sudirman mulai bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setahun kemudian, dia melanjutkan sekolah di Taman Siswa.

Namun pendidikannya di Taman Siswa harus berhenti seiring kondisi politik saat itu, sehingga Sudirman pindah lagi ke Sekolah Wirotomo. Memasuki usia remaja, Sudirman turut serta dalam proses berdirinya Hizbul Wathan, sebuah organisasi miliki Muhammadiyah. Berikutnya, Sudirman diamanahi untuk memimpin Hizbul Wathan cabang Cilacap, Jawa Tengah. Perjalanan studi Sudirman berlanjut saat dia masuk ke Kweecshool, yaitu sekolah calon guru yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda. Namun Sudirman tidak menyelesaikan studinya di Kweekschool karena biaya. Sudirman akhirnya kembali ke Cilacap. Di Cilacap, Sudirman mengabdikan diri ke dunia pendidikan dengan menjadi guru sekolah dasar milik MUhammadiyah. Memasuki tahun 1936, Sudirman diangkat menjadi kepala sekolah di sekolahan tersebut. Dia juga aktif di kegiatan-kegiatan Muhammadiyah.

Memulai Karir Militer

Persentuhan Jenderal Sudirman dengan dunia militer dimulai pada tahun 1942, pada masa pendudukan Jepang. Saat itu, Dai Nippon mendirikan kesatuan militer sukarela bernama Pembela Tanah Air atau PETA. Di PETA, Sudirman harus mengikuti pendidikan di Bogor, Jawa Barat. Saat lulus, Sudirman kemudian diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya.

Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sudirman diberi tugas oleh Soekarno-Hatta untuk mengawasi proses penyerahan tentara Jepang di Banyumas. Selain itu, Sudirman juga menjadi salah satu pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah tersebut. Saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Sudirman ditunjuk untuk menjadi Panglima Divisi V/Banyumas, Jawa Tengah.

Kemudian pada tanggal 2 November 1945, Sudirman terpilih menjaid Panglima Besar TKR, atau Panglima Angkata Perang Republik Indonesia pertama. Pada tahun berikutnya, tepatnya 25 Mei 1946, Sudirman kembali dipercaya memimpin Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan pangkat Jenderal. Sementara pada 28 Juni 1947, Jenderal Sudirman resmi dilantik sebagai Panglma TNI oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta. Selama di militer, Jenderal Sudirman terlibat aktif dalam sejumlah peperangan melawan pasukan Inggris dan Belanda. Salah satu yang fenomenal adalah Perang Gerilya yang dijalani Jenderal Sudirman pada tahun 1948.

Menjadi Jenderal Besar TNI

Perang Gerilya dijalankan sebagai respons atas Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta yang menjadi ibu kota negara saat itu menjadi sasaran utama serangan Belanda. Saat itu, Yogyakarta hampir sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Sementara Jenderal Sudirman sedang dalam keadaan sakit terserang TBC.

Namun, ketika para pemimpin negara termasuk Presiden Soekarno, Muhammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX rapat membahas strategi pertahanan, Jenderal Sudirman muncul. Kehadiran Jenderal Sudirman cukup mengejutkan. Pasalnya kondisi kesehatan Jenderal Sudirman belum pulih, bahkan paru-parunya konon hanya berfungsi 50 persen. Saat itu Jenderal Sudirman menyarankan untuk Perang Gerilya. Namun tidak disetujui Presiden lantaran masih percaya jalur diplomasi. Pada tanggal 22 Desember 1948, Jenderal Sudirman pun memutuskan keluar dari Yogyakarta dan bergeilya bersama pasukannya. Perang Gerilya ditempuh Jenderal Sudirman selama berbulan-bulan, sambil ditandu akibat sakitnya yang terus memburuk. Puncaknya pada 1 Maret 1949, pasukan gerilya Jenderal Sudirman berhasil merebut kembali Yogyakarta dari Belanda. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Peristiwa ini pula yang memaksa Belanda mau kembali ke meja perundingan. Jenderal Sudirman wafat satu bulan setelah pengakuan kemerdekaan oleh Belanda, tepatnya pada 29 Januari 1950. Penetapan Jenderal Besar TNI sendiri dilakukan pada tahun 1997, saat pemerintahan Presiden Soeharto.

Sumber Berita:Kompas.com


Published

On January 24, 2022

By

Ali Fatkhi


Penulis : Humas Mandalahayu | Terbit : 2022-01-25 | Dibaca : 732


PENDIDIKAN UNTUK MASA DEPAN BERKELANJUTAN :

Mandalahayu tidak hanya fokus pada pembelajaran akademik, namun juga pembalajaran non-akademik. Membekali peserta didik agar mampu beradaptasi dengan kondisi global dan membangun rasa percaya diri, berpikir kritis, komunikatif, kreatif, dan kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitar.

MASA DEPAN PENDIDIKAN :

Perubahan sekolah Mandalahayu menuju sekolah MULTIKULTURAL berbasis ilmu pengetahuan dan Teknologi Digital.

Jalan Perum. Margahayu No. 304-312, Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat 17113

304yayasanmandalahayu@gmail.com

(021) 8808956


Website ini dikelola oleh CLIMBERNET